Yayasan Titian Lestari menutup bulan Maret 2022 dengan serangkaian agenda. Dari diskusi panel hingga pameran berbagai produk kerajinan hasil hutan bukan kayu.
Diskusi panel menghadirkan perwakilan pemerintah Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, swasta, kelompok pengelola hutan, serta perwakilan CSO mitra.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sembelangaan Iskandar bercerita tentang perjalanannya membangun kelembagaan pengelola hutan desa guna memantik jalannya diskusi bersama para pihak.
Menurutnya, tantangan terbesar dari produk kerajinan masyarakat setempat adalah daya saing dengan produk dari luar pulau. Termasuk dari sisi kreativitas dan harga jual serta cenderung hanya ada pada saat pameran saja.
“Tantangan ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik pembeli,” katanya.
Perwakilan Bappeda Ketapang Nur Fadli mengatakan produk-produk dari masyarakat ini sesungguhnya dapat dibantu pemasarannya melalui Dinas Koperasi UKM, Perindustrian, dan Perdagangan.
Sebelumnya, Yayasan Titian Lestari telah berkiprah selama 18 bulan di 8 desa yang tersebar di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Lembaga ini mengusung program Berkontribusi pada Pembangunan Emisi Rendah dengan Meningkatkan Kebijakan Penggunaan Lahan dan Memperkuat Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat melalui Pendekatan Landscape di Kabupaten Ketapang.
Program tersebut mendapat sokongan dari Climate and Land Use Alliance.
Berbagai potensi dan produk yang terdapat di desa-desa ini dapat dilihat dalam kegiatan yang berlangsung pada 31 Maret 2022 di Hotel Grand Zuri Ketapang.
Potensi dan produk ini meliputi destinasi wisata, ternak, produk agroforestri, dan potensi hasil hutan bukan kayu lainnya seperti sari buah nanas, kopi, gula lali (gula aren cair), gula kerek (gula aren), dan produk anyaman lainnya.
Selain potensi dan produk dari desa dampingan, Balai Taman Nasional Gunung Palung, Yayasan Palung, Yayasan Tropenbos Indonesia dan Yayasan Bambu Lestari juga turut meramaikan pameran ini.
Produk-produk yang ditampilkan juga merupakan hasil hutan bukan kayu unggulan desa dampingannya seperti Eco-print, berbagai produk anyaman, dan lain-lain.